Sikap
sinisme masyarakat terhadap program kerja studi banding anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) tidak akan pernah usai selama
program kerja tersebut masih diadakan. Karena dinilai tidak mempunyai tujuan
yang jelas dan hanya menghambur-hamburkan uang rakyat tanpa memberikan hasil
yang memuaskan.
Meski
menuai kritik dan penilaian negatif dari publik. Rombongan para wakil rakyat lebih
mengambil sikap tidak peduli dan tetap saja nekat terbang ke luar negeri dengan
alasan belajar dan menambah wawasan dalam merancang Undang-Undang yang
berkualitas.
Kegiatan
kontroversi ini dilakukan saat masa reses (libur sidang) dari tahun ke tahun.
Seharusnya pada masa ini Anggota Dewan Perwakilan Rakyat terjun langsung kepada
masyarakat dan menyerap semua aspirasinya. Tetapi sebagian anggota wakil rakyat
memilih berbondong-bondong mengajukan kunjungan kerja ke berbagai negara dengan
berbagai alasan.
Wajar
jika rakyat mempertanyakan efektivitas kunjungan kerja Anggota DPR tersebut. Dinilai
tidak sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan. Karena ongkos yang dipakai
tidak sedikit, dan bukan berasal dari pribadi. Melainkan dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara yang 70 persen berasal dari uang rakyat melalui
pajak.
Seperti
dilansir detiknews.com, Ketua DPR Marzuki Alie menegaskan, perjalanan studi
banding sejumlah anggota DPR ke beberapa negara bukan tanpa tujuan. Studi
banding dibutuhkan untuk memperkaya referensi anggota Dewan dalam penyusunan
undang-undang. “Untuk mendapatkan referensi yang banyak, suka tidak suka, DPR
harus studi banding,” kata Marzuki di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat
(17/9/2010).
Sejak
2004, sedikitnya 163 studi banding ke luar negeri mereka lakukan. Selain anggota
dewan, sejumlah staf dan bahkan anggota keluarga sering diikutsertakan. Contoh
terbaru adalah perjalanan anggota DPR ke berbagai negara pada masa reses April
2012 ini. Komisi I DPR siap pergi ke empat negara, yaitu Jerman, Republik Ceko,
Polandia, dan Afrika Selatan. Sedangkan, komisi VIII DPR berangkat ke dua
negara Eropa, yaitu Denmark dan Norwegia. Dengan menggunakan uang rakyat sebesar
Rp 4,8 Miliar.
Keberangkatan
perjalanan anggota Komisi I DPR ke Jerman menuai kekecewaan. Perhimpunan
Pelajar Indonesia (PPI) Jerman, bersama dengan PPI Berlin, dan Nahdlatul Ulama
Cabang Istimewa Jerman, menolak kedatangan mereka.
Dan melakukan aksi walk-out setelah pembacaan pernyataan pada saat menghadiri
acara tatap muka bersama para wakil rakyat itu. Penolakan disampaikan secara
bersama oleh para mahasiswa-mahasiswi. Seperti dilansir dari situs
ppi-jerman.org, Kamis (26/4). Acara tersebut berlangsung di KBRI Berlin, dengan
dihadiri oleh para anggota DPR-RI Komisi I beserta keluarga dan rombongan, para
pejabat dan staf KBRI-KJRI Jerman.
Dalam
pernyataan penolakanya, PPI Jerman, PPI Berlin, dan NU menuntut tiga hal, yaitu
transparansi, laporan, dan pengertian dari para wakil rakyat, yang mana dalam
pernyataan mereka dijabarkan sebagai berikut :
1. Transparansi
dari setiap anggota DPR RI mengenai agenda kunjungan ke luar negeri beserta
biaya yang akan dikeluarkan. Informasi tersebut harus dipublikasikan paling
lambat 1 bulan sebelum keberangkatan.
2. Melaporkan
hasil kunjungan tersebut kepada rakyat melalui website DPR RI dan media massa.
3. Pengertian
Ibu Bapak wakil rakyat untuk tidak menghamburkan uang rakyat dengan terbang
ribuan kilometer untuk Rapat Dengar Pendapat dengan KBRI dan KJRI. Hal ini bisa
dilakukan lewat tele-konferens, atau ketika pejabat-pejabat KBRI dan KJRI
berada di Jakarta.
Apa
yang dilakukan PPI Jerman merupakan titik kulminasi dari kekecewaan masyarakat.
Anggota DPR sepantasnya malu dengan pernyataan yang disampaikan mahasiswa
Indonesia di Jerman itu. Dan menjadikannya sebagai motivasi untuk lebih baik
lagi dalam bekerja dan mengemban amanah rakyat.
Awal
tahun ini saja, anggota Komisi III DPR juga ke Prancis dan Australia. Alasan
mereka, melakukan studi banding untuk kepentingan revisi Undang-Undang Nomor 30
tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mengapa memilih dua
negara itu? Menurut ketua komisi III Benny K Harman, kedua negara itu memiliki
pengalaman sukses dalam pemberantasan korupsi. Komisi III, kata Benny, ingin
mengetahui peran komisi pemberantasan korupsi independen di kedua negara itu.
Kegiatan
studi banding ke luar negeri itu tidak sebanding dengan kinerja mereka. Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menyebut, setiap tahun proses legislasi
(pembuatan undang-undang) selalu tidak optimal dan jauh dari target. Kinerja
wakil rakyat kita dapat dikatakan buruk, baik dari segi kualitas dan kuantitas.
Pada
tahun 2005, DPR hanya mampu membuat 14 di antara target 55 UU. Tahun 2006,
membuat 39 di antara target 76 UU. Tahun 2007 membuat 40 di antara target 78
UU. Tahun 2008 membuat 61 di antara target 81 UU. Tahun 2009, menghasilkan 39
di antara target 76 UU. Tahun 2010, menghasilkan 16 dia ntara target 70 UU
sekitar 23 persen. Sedangkan tahun 2011, DPR hanya menghasilkan 24 di antara
target 93 UU sekitar 26 persen. (JawaPos/17/04/12)
Lebih
buruk lagi, sekitar 450 UU diajukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi karena
dinilai bertentangan dengan konstitusi dan dimintakan pembatalan. Padahal
sangat mahal pembuatan Undang-Undangnya.
Ini
fakta bahwa kunjungan kerja para wakil rakyat belum efektif apalagi efisien.
Kunjungan kerja dimanfaatkan sebagai ajang rombongan berwisata bersama para
anggota dan bahkan bersama keluarga secara gratis dibayar oleh rakyat dari
APBN. Dengan biaya yang terus semakin membengkak. Tidak ada sama sekali
kepekaan dan upaya untuk menggunakan anggaran negara dengan lebih baik dan
tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar