Rabu, 08 Februari 2012

... warna warni untuk Ranum ...



Senja adalah sebuah pesona yang tidak bisa di gambarkan keindahannya. Membuat kedua pupilku tak bisa berkedip dibuatnya. Mega nan menawan itu masuk ke dalam korneaku tanpa berbisik. Tersungkur hati dibuatnya takjub. Kebesaran Tuhan yang menciptakan senja yang elok. Membuatku beribu syukur tanpa ampun. Aku tak ingin beranjak. Aku ingin tetap bertahan disini menyaksikan senja tenggelam di makan malam. Semilir angin dingin menghembus menusuk paru-paru seakan menyuruhku beranjak dari balkon rumahku.
“Ah, dingin sekali” Aku beranjak dan masuk ke dalam rumah untuk mengambil secangkir the hangat yang telah di buatkan oleh ummi. Ummi panggilan sayangku kepada sosok wanita yang telah mengandung dan melahirkan serta membesarkanku hingga saat ini. Yang jelas aku sayang ummi.
“Jangan kamu di luar terus Nak, di luar dingin sekali. Nanti kamu masuk angin”
“Tak apalah ummi, aku ingin menyaksikan senja itu” pintaku dengan sedikit memohon. Di luar memang dingin sekali. Rumahku yang tepatnya di dataran tinggi dan kebetulan kotaku baru saja di guyur hujan deras dan angin kencang membuat suasana dan udara begitu menusuk kulit.
“Ranum kemana ummi?” Aku menanyakan sosok gadis 2 tahun lebih muda dariku. Dia adalah adikku. Namanya Ranum.
“Dia di kamar, mungkin sedang istirahat” jawab ummi dengan senyuman manisnya. Aku suka melihatnya. Ummi terlihat lebih cantik dan lebih muda dariku.
Aku kembali ke balkon rumah dengan secangkir the hangat yang di buatkan ummi. Langkah perlahan namun pasti menyeimbangkan diri takut-takut kalau tehnya tumpah berceceran. Saat aku duduk kembali dan siap menyaksikan senja. Pemandangan yang indah tersaji dalam pandanganku. Beribu kekaguman terucap dengan bibir sedikit menganga. Kumpulan warna yang indah membentuk setengah lingkaran yang sempurna tersaji di depanku.
“Pelangi, ada pelangi” histerisku melihatnya. Pemandangan yang tidka bisa di saksikan setiap waktu. Kini terpampang jelas indahnya.
“Ranum, Ranum sini ayo sini, cepatlah sini, ayo” setengah teriak aku memanggil Adikku Ranum. Berharap dia cepat keluar dan menyaksikan keindahan yang diberi Tuhan senja ini.
“iya Kak Rani, ada apa?” Ranum menghampiriku. Dengan wajah penasaran dan beribu tanya menyelimutinya.
“Lihat Ranum, ada pelangi. Indah sekali bukan?” sigapku menarik tangan Ranum dan menunjukkannya ke arah pelangi itu. Dengan nada riang seolah sedang ketiban rezeki nomplok aku tetap dengan memandangi pelangi dan menghiraukan raut wajah Ranum.
Ranum hanya terdiam.
Suasana hening mendadak.
Aku masih sibuk memandangi pelangi itu.
“Iya Kak Rani, pelanginya indah sekali” Ranum memecah keheningan. Sontak aku langsung melihat ke arahnya. Dia berlalu begitu saja meninggalkan aku sendirian menyaksikan pelangi itu di balkon rumah. Suasana seketika berubah menjadi haru.
“Astagfirullahaladzim, maaftkan aku Ranum” Aku teringatkan sesuatu. Aku sudah melukai perasaan Ranum Tuhan, maafkanlah aku. Penyesalan hadir dalam benakku. Aku tidak sadar bahwa Ranum tidak bisa menyaksikan indahnya pelangi itu. Aku sangat menyesal. Mungkin saat ini Ranum sedang bersedih. Kakak macam apa aku ini? Tidak menyadari kekurangan adikknya sendiri. Tuhan, aku minta maaf.
***
Aku tidak sadar. Kegiranganku melihat pelangi melupakanku akan kekurangan Ranum. Ranum hanya mengandalkan 4 alat inderanya saja. Setelah 2 tahun yang lalu. Sebuah mobil avanza warna hitam menabraknya. Dia harus kehilangan penglihatannya. Tidak bisa menyaksikan keindahan yang Tuhan berikan. Kejadian itu membuat Ranum terpukul dna tidka terima begitu saja. Dia menjadi gadis tertutup dan pemurung yang hanya berdiam diri mengurung diri di dalam kamarnya.semangat Dia untuk bangkit tidak ada sama sekali. Yang Dia tahu hanyalah putus asa dan pasrah akan keadaannya. Sekali sempat Dia mencoba bunuh diri. Tapi syukur Alhamdulillah Ummi dapat membujuknya. Hanya Ummi yang mampu menghadirkan semangat Ranum bangkit kembali dan semakin bergejolak. Ummi pula yang menyingkirkan rasa putus ada Ranum dan menggantinya dengan optimis yang baru. Kini Ranum terbuka kembali dan mencoba selalu tersenyum. Dia menyadari inilah takdir Tuhan yang indah untuk dirinya. Yang harus pula di temani dengan semangat dan optimis yang tinggi.
Tapi apa sekarang? Aku. Kakaknya membuatnya sedih kembali. Penyesalan itu semakin dalam aku rasa. Seperti senja yang sudah dimakan malam. Aku harus seperti senja yang memberikan keindahan kepada setiap mata yang melihatnya. Termasuk untuk Ranum.
***
Lampu-lampu malam kini hadir menggantikan senja. Senja berlalu, penyesalan terhadap Ranumpun harus segera berlalu.
“Ranum, Kakak boleh masuk?” sahutku di balik daun pintu kamar Ranum dan sedikit berbisik. Berharap Ranum membukanya dan menyambutku dengan senyuman yang mampu membuatku bahagia dan membuang penyesalan ini sejauh mungkin.
“Iya Kak Rani, ada apa?” Ranum membuka pintunya dengan sedikit senyuman.
“Ranum, Kak Rani minta maaf ya atas kejadian tadi sore”
“Kenapa Kakak harus meminta maaf, aku tak apa-apa Kak Rani”
“Kakak menyesak Ranum”
“Tidak apa Kak Rani, aku mengerti dan mencoba menyadari. Ranum tidak bisa seperti Kakak yang bisa setiap saat melihat indahnya pelangi ketika ia hadir di upuk senja. Tapi Ranum hanya bisa merasakan hadirnya pelangi membuat Kak Rani senang, itu sudah cukup membuat Ranum bahagia. Tuhan berikan pelangi untuk Kak Rani kagumi. Tapi Tuhan berikan pelangi untuk Ranum rasakan hadirnya. Aku sayang Kakak”.
Tiba-tiba air mata turun dari kedua mata Ranum yang indah. Tangannya meraba mencari tubuhku berada. Dan Ranum memelukku begitu erat. Hangat kaish sayangnya bisa Aku rasakan. Hangat sekali pelukan seorang Adikku yang manis ini. Akupun ikut menangis bangga. Tuhan berikan aku sosok Adik yang kuat seperti Ranum.
“Tuhan, jika pelangi itu hadir kembali dikala senja. Aku berikan hadirnya pelangi itu untuk Ranum Adikku” gumamku dalam hati dan masih memeluk Ranum.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar