Senin, 14 Mei 2012

FUNGSI GANDA WAKIL RAKYAT MENJADI WISATAWAN NEGARA

Sikap sinisme masyarakat terhadap program kerja studi banding anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) tidak akan pernah usai selama program kerja tersebut masih diadakan. Karena dinilai tidak mempunyai tujuan yang jelas dan hanya menghambur-hamburkan uang rakyat tanpa memberikan hasil yang memuaskan.
Meski menuai kritik dan penilaian negatif dari publik. Rombongan para wakil rakyat lebih mengambil sikap tidak peduli dan tetap saja nekat terbang ke luar negeri dengan alasan belajar dan menambah wawasan dalam merancang Undang-Undang yang berkualitas.
Kegiatan kontroversi ini dilakukan saat masa reses (libur sidang) dari tahun ke tahun. Seharusnya pada masa ini Anggota Dewan Perwakilan Rakyat terjun langsung kepada masyarakat dan menyerap semua aspirasinya. Tetapi sebagian anggota wakil rakyat memilih berbondong-bondong mengajukan kunjungan kerja ke berbagai negara dengan berbagai alasan.
Wajar jika rakyat mempertanyakan efektivitas kunjungan kerja Anggota DPR tersebut. Dinilai tidak sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan. Karena ongkos yang dipakai tidak sedikit, dan bukan berasal dari pribadi. Melainkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang 70 persen berasal dari uang rakyat melalui pajak.
Seperti dilansir detiknews.com, Ketua DPR Marzuki Alie menegaskan, perjalanan studi banding sejumlah anggota DPR ke beberapa negara bukan tanpa tujuan. Studi banding dibutuhkan untuk memperkaya referensi anggota Dewan dalam penyusunan undang-undang. “Untuk mendapatkan referensi yang banyak, suka tidak suka, DPR harus studi banding,” kata Marzuki di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (17/9/2010).
Sejak 2004, sedikitnya 163 studi banding ke luar negeri mereka lakukan. Selain anggota dewan, sejumlah staf dan bahkan anggota keluarga sering diikutsertakan. Contoh terbaru adalah perjalanan anggota DPR ke berbagai negara pada masa reses April 2012 ini. Komisi I DPR siap pergi ke empat negara, yaitu Jerman, Republik Ceko, Polandia, dan Afrika Selatan. Sedangkan, komisi VIII DPR berangkat ke dua negara Eropa, yaitu Denmark dan Norwegia. Dengan menggunakan uang rakyat sebesar Rp 4,8 Miliar.
Keberangkatan perjalanan anggota Komisi I DPR ke Jerman menuai kekecewaan. Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Jerman, bersama dengan PPI Berlin, dan Nahdlatul Ulama Cabang Istimewa Jerman, menolak kedatangan mereka. Dan melakukan aksi walk-out setelah pembacaan pernyataan pada saat menghadiri acara tatap muka bersama para wakil rakyat itu. Penolakan disampaikan secara bersama oleh para mahasiswa-mahasiswi. Seperti dilansir dari situs ppi-jerman.org, Kamis (26/4). Acara tersebut berlangsung di KBRI Berlin, dengan dihadiri oleh para anggota DPR-RI Komisi I beserta keluarga dan rombongan, para pejabat dan staf KBRI-KJRI Jerman.
Dalam pernyataan penolakanya, PPI Jerman, PPI Berlin, dan NU menuntut tiga hal, yaitu transparansi, laporan, dan pengertian dari para wakil rakyat, yang mana dalam pernyataan mereka dijabarkan sebagai berikut :
1.   Transparansi dari setiap anggota DPR RI mengenai agenda kunjungan ke luar negeri beserta biaya yang akan dikeluarkan. Informasi tersebut harus dipublikasikan paling lambat 1 bulan sebelum keberangkatan.
2.      Melaporkan hasil kunjungan tersebut kepada rakyat melalui website DPR RI dan media massa.
3.   Pengertian Ibu Bapak wakil rakyat untuk tidak menghamburkan uang rakyat dengan terbang ribuan kilometer untuk Rapat Dengar Pendapat dengan KBRI dan KJRI. Hal ini bisa dilakukan lewat tele-konferens, atau ketika pejabat-pejabat KBRI dan KJRI berada di Jakarta.
Apa yang dilakukan PPI Jerman merupakan titik kulminasi dari kekecewaan masyarakat. Anggota DPR sepantasnya malu dengan pernyataan yang disampaikan mahasiswa Indonesia di Jerman itu. Dan menjadikannya sebagai motivasi untuk lebih baik lagi dalam bekerja dan mengemban amanah rakyat.
Awal tahun ini saja, anggota Komisi III DPR juga ke Prancis dan Australia. Alasan mereka, melakukan studi banding untuk kepentingan revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mengapa memilih dua negara itu? Menurut ketua komisi III Benny K Harman, kedua negara itu memiliki pengalaman sukses dalam pemberantasan korupsi. Komisi III, kata Benny, ingin mengetahui peran komisi pemberantasan korupsi independen di kedua negara itu.
Kegiatan studi banding ke luar negeri itu tidak sebanding dengan kinerja mereka. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menyebut, setiap tahun proses legislasi (pembuatan undang-undang) selalu tidak optimal dan jauh dari target. Kinerja wakil rakyat kita dapat dikatakan buruk, baik dari segi kualitas dan kuantitas.
Pada tahun 2005, DPR hanya mampu membuat 14 di antara target 55 UU. Tahun 2006, membuat 39 di antara target 76 UU. Tahun 2007 membuat 40 di antara target 78 UU. Tahun 2008 membuat 61 di antara target 81 UU. Tahun 2009, menghasilkan 39 di antara target 76 UU. Tahun 2010, menghasilkan 16 dia ntara target 70 UU sekitar 23 persen. Sedangkan tahun 2011, DPR hanya menghasilkan 24 di antara target 93 UU sekitar 26 persen. (JawaPos/17/04/12)
Lebih buruk lagi, sekitar 450 UU diajukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan dengan konstitusi dan dimintakan pembatalan. Padahal sangat mahal pembuatan Undang-Undangnya.
Ini fakta bahwa kunjungan kerja para wakil rakyat belum efektif apalagi efisien. Kunjungan kerja dimanfaatkan sebagai ajang rombongan berwisata bersama para anggota dan bahkan bersama keluarga secara gratis dibayar oleh rakyat dari APBN. Dengan biaya yang terus semakin membengkak. Tidak ada sama sekali kepekaan dan upaya untuk menggunakan anggaran negara dengan lebih baik dan tepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar